1.1 Biografi Viktor
Emile Frankl
Viktor
Emile Frankl dilahirkan di Wina Austria pada tanggal 26 maret 1905 dari
keluarga Yahudi saleh. Nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme berpengeruh kuat
atas diri Frankl. Pengaruh ini ditunjukkan antara lain oleh minat Frankl yang
besar pada persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup.
Pendidikan tinggi pertama yang diraih Frankl adalah kedokteran dengan
spesialisasi
neurologi dan kemudian psikiatri diselesaikannya di universitas Wina. Di
universitas yang sama ia meraih gelar doctor dan membaktikan diri sebagai
pengajar, disamping prakteknya sebagai terapis di Poliklinik Hospital Wina.
Kota Wina kelahirannya, adalah sebagai salah satu pusat kebudayaan yang
terpenting di eropa dan melahirkan tokoh-tokoh seni dan ilmu pengetahuan termasuk
tokoh-tokoh psikologi. Kota Wina relatif bersih dari antisemitisme, sehingga
tidak mengherankan bahwa banyak warga keturunan Yahudi – termasuk Frankl
–memilih kota ini sebagai tempat
menetap dan mengembangkan karir.
Sehingga
kota tempat tinggal Frankl kondusif untuk
mengembangkan intelektualitasnya. Apalagi Freud dan Adler yang merupakan
tokoh yang ikut menentukan perjalanan intelektualnya juga lahir di kota Wina
ini Frankl pada waktu berusia 14 tahun ia sudah tertarik dengan mempelajari filsafat
alam. Kemudianpada usia 15 tahun Frankl ikut sekolah malam untuk orang-orang
dewasa dan mengambil pelajaran “Psikologi Terapan” dan “Psikologi Eksperimen,”
kemudian mengikuti kursus Psikoanalisis yang diberikan oleh Paul Schider dan
Eduard Hitschmann yang keduanya adalah
pengikut setia Freud. Tahun 1922, saat Frankl berusia 17 tahun, ia diminta
oleh pengelola sekolah malam untuk memberikan pelajaran mengenai arti
kehidupan. Keikutsertaan Frankl dalam kursus-kursus ini menimbulkan minat besar
untuk belajar Psikoanalisis, sehingga ia sering menulis surat kepada Freud,
pelopor dan pendiri Psikoanalisis. Akhirnya terjadi korespondensi selama 2
tahun. Ketika Frankl akan mengakhiri pendidikan SMU, diwajibkan menulis makalah
sebagai tugas akhir.
Frankl
menulis sebuah makalah tentang kaitan antara psikologi dengan pemikiran
filsafat yang dijelaskan sepenuhnya dengan menggunakan teori Psikoanalisis. Ini
menunjukkan pengaruh Psikoanalisis cukup besar pada diri Frankl waktu itu.
Perjalanan intelektualitas Frankl selanjutnya, terhentinya hubungan dengan
Freud karena tidak setuju dengan teori dan asas-asas psikoanalisis yang
dianggapnya deterministis dan berorientasi pada unsur psikoseksual. Ia kemudian
bergabung dengan Alfred Adler, seorang murid Sigmund Freud yang menentang
pandangan gurunya dan mengembangkan aliran sendiri yang dinamakan Psikologi
Individual. Dalam kelompok ini sekalipun Viktor Frankl adalah anggota termuda,
tetapi pemikirannya yang kritis dan mendalam sangat dihargai anggota-anggota lainnya.
Kemudian hubungan dengan Adler pun juga mulai renggang setelah Frankl dekat dengan orang yang kritis dengan
Adler. Lebih-lebih setelah arah minat Frankl mulai cenderung kepada
fenomenologi dan eksistensialisme dan menerbitkan majalah sendiri “man in daily
life.” Akhirnya Viktor Frankl dipecat
dari asosiasi karena dianggap tidak loyal dan pandangan-pandangannya dinilai
menyimpang dari kerangka pemikiran psikologi individual. Tahun 1929 saat Frankl
berusia 24 tahun, sebelum Perang Dunia II, Frankl telah dikenal sebagai dokter
muda pendiri “Pusat Bimbingan Remaja” dikota Wina. Pihak universitas menganggap
bahwa Frankl telah menguasai psikoterapi, sehingga universitas mengizinkan
untuk praktek psikoterapi, sekalipun belum menyelesaikan pendidikan spesialisasinya.
Mulai tahun 30-an Frankl aktif mengungkapkan pandangan-pandangan sendiri dan
menyosialisasikan konsep-konsep baru seperti
“existential vacuum,” “self trascendence” dan “logotherapie.” Tahun 1937 setelah menyelesaikan pendidikan
spesialisasi Frankl membuka praktek pribadi sebagai neuropsikiater dan
mengamalkan pendeketan logoterapi. Beberapa bulan kemudian Hitler dengan
Nazinya menguasai Austria dan kota Wina. Nazi meneror kaum yahudi. Pada waktu
itu Frankl yang berencana mau menerbitkan naskah bukunya tentang makna
hidup dan tinjauan baru atas berbagai
gangguan dan penyakit jiwa, tetapi gagal karena situasi negara mulai tidak aman
sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II. Ketika situasi mulai tidak aman dan
tentara Jerman mulai menguasai Austria,
saat itu Viktor Frankl dan istrinya
sebenarnya telah memiliki surat izin bermigrasi ke Amerika Serikat, tetapi ia
mempertimbangkan untuk tidak menggunakan
kesempatan itu karena tidak sampai hati meninggalkan orang tua dan sanak
keluarga yang dicintai serta para pasien
yang dirawatnya. Akhirnya kesempatan itu tidak digunakan sama sekali dan
diberikan kepada saudara perempuannya yang bermigrasi ke Australia sebelum
tentara Nazi menduduki kota Wina. Setelah Jerman benar-benar menguasai Austria,
Frankl ditunjuk pihak Nazi untuk mengepalai Bagian Saraf di RS Rothschild rumah
sakit untuk orang Yahudi, tetapi kemudian Frankl dan keluarganya beserta warga
Yahudi lain digiring untuk dikirim ke kamp konsentrasi. Ada empat tempat kamp
konsentrasi yang dijalaninya selama hampir 3 tahun, antara lain : kamp
konsentrasi Dachau, Maidanek, Treblinka, dan Auschwitz. Sebagai ilmuwan sejati
Frankl ingin membuktikan teorinya mengenai makna hidup yang sudah dirintis
sebelum masuk kamp konsentrasi. Kegiatan sehari-harinya secara diam-diam
melakukan semacam konseling dan psikoterapi kepada sesama tahanan, agar bisa
bertahan dalam penderitaan dengan mengarahkan untuk meraih makna dalam
penderitaannya. Di Auschwitz adalah kamp konsentrasi paling kejam diantara
ketiga tempat tersebut. Kamp konsentrasi ini paling terkenal dan tercatat dalam
sejarah Perang Dunia II sebagai sejarah tragedi umat manusia. Di tempat itulah
telah terjadi pelecehan, penyiksaan, pembantaian, dan pemusnahan banyak sekali
manusia yang tak berdaya (warga Yahudi). Dalam penderitaan itu ada dua macam
reaksi mental dan perilaku, pertama ada yang berubah menjadi seperti binatang
yang serakah dan bringas, dimana mereka tidak dapat mengendalikan diri atas
dorongan-dorongan dasar (makan, minum, seks) yang mencerminkan kehampaan dan ketidak bermaknaan (meaningless) hidup.
Yang kedua, kebalikan dari yang pertama ada yang berlaku seperti orang suci.
Dalam puncak penderitaan mereka masih mau tetap berbagi dan tabah menjalaninya
yang mencerminkan bahwa mereka masih berusaha agar senantiasa tetap menghargai
hidup dan menghayati hidup yang bermakna. Mereka seakan-akan menemukan makna
dalam penderitaan. Frankl mengamati para tahanan tersebut mempunyai kemampuan
untuk bertahan dalam menjalani penderitaan. Kalaupun sampai menyongsong ajal
mereka menghadapi kematian dengan perasaan bermakna dan tabah.
2.2 Tujuan
Konseling Logotherapy Frankl
Tujuan
dari konseling dalam pendekatan logoterapi ini diantaranya ialah mengajarkan
bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan, makna yang harus
diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita
tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat
mendedikasikan eksistensi kita. Namun kalaulah hidup diisi dengan
penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian
menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau
prestasi dan kemenangan. Diharapkan agar klien bisa menemukan dan memenuhi makna serta tujuan hidupnya dengan jalan lebih menyadari sumber-sumber makna hidup, mengaktualisasi potensi diri, meningkatkan keakraban hubungan antarpribadi, berpikir dan bertindak positif, menunjukkan prestasi dan kualitas kerja optimal, mendalami nilai-nilai kehidupan, mengambil sikap tepat atas musibah yang dialami, serta memantabkan ibadah kepada tuhan.
tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat
mendedikasikan eksistensi kita. Namun kalaulah hidup diisi dengan
penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian
menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau
prestasi dan kemenangan. Diharapkan agar klien bisa menemukan dan memenuhi makna serta tujuan hidupnya dengan jalan lebih menyadari sumber-sumber makna hidup, mengaktualisasi potensi diri, meningkatkan keakraban hubungan antarpribadi, berpikir dan bertindak positif, menunjukkan prestasi dan kualitas kerja optimal, mendalami nilai-nilai kehidupan, mengambil sikap tepat atas musibah yang dialami, serta memantabkan ibadah kepada tuhan.
Logoterapi
membantu klien agar lebih sehat secara emosional,
dan salah satu cara untuk mencapainya adalah memperkenalkan filsafat hidup yang
lebih sehat, yaitu mengajak untuk menemukan makna hidupnya. Ada tiga asas utama logoterapi yang menjadi inti dari
terapi ini, yaitu:
· Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi,
bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang
dirasakan penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus
bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup.
· Setiap manusia memiliki kebebasan – yang hampir
tidak terbatas – untuk menentukan sendiri makna hidupnya. Dari sini kita
dapat memilih makna atas setiap peristiwa yang terjadi dalam diri kita, apakah itu
makna positif atupun makna yang negatif. Makna positif ini lah yang dimaksud
dengan hidup bermakna.
· Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mangambil
sikap terhadap peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa
dirinya sendiri dan lingkungan sekitar. Contoh yang jelas adalah seperti kisah
Imam Ali, ia jelas-jelas mendapatkan musibah yang tragis, tapi ia mampu
memaknai apa yang terjadi secara positif sehingga walaupun dalam keadaan yang
seperti itu Imam tetap bahagia.
“(Langit
kota Kufah 19 Ramadhan tahun 40 Hijriyah sudah mulai menampakkan cahaya
kekuningan. Baru saja Imam Ali ibn Abi Thalib as. mulai mengimami sholat
shubuh. Seketika, ketika ia baru saja mengangkat kepalanya dari sujud, pedang
beracun Ibnu Muljam langsung menghantam kepala sang Imam. Dengan senyuman, Imam
Ali langsung mengusapkan darah yang membasahi janggut kepada wajahnya. Dengan
wajah tenang, mulutnya berucap: “Fuztu
wa Rabbil Ka’bah. demi Tuhan yang memelihara Ka’bah, sungguh aku bahagia!”.
Kisah ini sengaja di kutip sebagai pengantar agar lebih dapat memahami
logoterapi. Kisah Imam Ali diatas jelas-jelas merupakan sebuah kemalangan,
jelas-jelas apa yang dialami Amirul Mukminin adalah sebuah musibah, jelas-jelas
sebuah bencana yang mengantarkannya kepada kematian. Tapi apa yang terjadi? Apa
yang diucapkan Imam Ali? “Fuztu
wa Rabbil Ka’bah. demi Tuhan yang memelihara Ka’bah, sungguh aku bahagia!”.
Luar biasa. Sikap Imam Ali inilah sebenarnya yang menjadi tujuan dari
Logoterapi).”
2.3 Proses
Konseling Logoterapi Frankl
Logoterapi
dengan filsafat manusia, asas-asas, metode, dan pendekatannya memberi corak
khusus pada kegiatan konseling sebagai salah satu bentuk aplikasinya.
Karakteristik logoterapi bisa dilihat dari tujuan konseling logoterapi yaitu
diharapkan agar pasien bisa menemukan dan memenuhi makna serta tujuan hidupnya
dengan jalan lebih menyadari sumber-sumber makna hidup, mengaktualisasi potensi
diri, meningkatkan keakraban hubungan antarpribadi, berpikir dan bertindak
positif, menunjukkan prestasi dan kualitas kerja optimal, mendalami nilai-nilai
kehidupan, mengambil sikap tepat atas musibah yang dialami, serta memantabkan
ibadah kepada tuhan. Jadi dari gambaran diatas menunjukkan bahwa konseling
logoterapi merupakan konseling individual untuk masalah ketidakjelasan makna
dan tujuan hidup, yang sering menimbulkan kehampaan dan hilangnya gairah hidup.
Jadi bukan untuk problema eksistensial dan patologis berat yang memerlukan
bantuan psikoterapi. Selain itu karakteristik konseling logoterapi adalah
jangka pendek, berorientasi masa depan, dan berorientasi pada makna hidup.
Dalam konseling ini, khususnya dalam proses penemuan makna hidup, terapis
bertindak sebagai rekan-yang-berperan-serta (the participating partner) yang
sedikit demi sedikit menarik keterlibatannya bila klien telah mulai menyadari
dan menemukan makna hidupnya. Untuk itu relasi konselor dengan klien harus
mengembangkan ecounter, yaitu hubungan antar pribadi yang ditandai oleh
keakraban dan keterbukaan, serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai, memahami,
dan menerima sepenuhnya satu sama lain. Fungsi terapis dalam hal ini adalah
membantu membuka cakrawala pandangan
klien terhadap berbagai nilai dan pengalaman hidup yang secara potensial
memungkinkan ditemukannya makna hidup, yakni bekerja dan berkarya (creative
values); menghayati cinta kasih, keindahan. Dan kebenaran (experiential
values); sikap yang tepat menghadapi musibah yang tak terelakkan (attitudinal
values); serta memiliki harapan akan terjadinya perubahan yang lebih baik
dimasa mendatang.
Ø Tahap-tahap
Konseling Logoterapi
Proses konseling pada umumnya mencakup
tahap-tahap: perkenalan, pengungkapan, dan penjajagan masalah, pembahasan
bersama, evaluasi dan penyimpulan, serta pengubahan sikap dan perilaku.
Biasanya setelah masa konseling berakhir
masih dilanjutkan dengan pemantauan atas upaya
perubahan
perilaku dan klien dapat melakukan konsultasi lanjutan apabila memerlukan.
Dilain pihak tentu saja corak dan proses konseling dapat berbeda-beda sesuai
teori dan metode yang dianut, serta permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai.
Elisabeth Lukas misalnya mengajukan empat langkah logoterapi, sebagai berikut.
a).
mengambil jarak atas symptom: terapis membantu menyadarkan klien bahwa simptom
sama sekali tidak "mewakili" dirinya. Simptom tidak lain hanyalah
kondisi yang "dimiliki" dan dapat dikendalikan.
b).
modifikasi sikap: terapis–tanpa
melimpahkan pandangan dan sikap pribadinya- membantu klien untuk
mendapatkan pandangan baru atas diri sendiri dan situasi hidupnya, kemudian
menentukan sikap baru untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam mencapai
kehidupan yang lebih sehat.
c).
pengurangan simptom: terapis membantu klien menerapkan teknik-teknik logoterapi
untuk menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi dan mengendalikan
sendiri keluhan dan simptomnya.
d).
orientasi terhadap makna: terapis bersama kliennya membahas nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam
kehidupan klien, kemudian memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan-tujuan
yang lebih kongkrit. Dan dalam kenyataanya, konseling logoterapi sangat luwes,
dalam artian bisa direktif dan bisa non
direktif serta tidak kaku dalam mengikuti tahapan-tahapan konseling. Logoterapi
juga telah ada beberapa yang memodifikasi dan juga dipadukan dengan pendekatan
lain. Dengan logoterapi yang dipadukan dengan metode-metode dan pemikiran lain,
konselor bisa mengaplikasikan dalam suasana yang berbeda-beda, baik yang
bersifat sosial, kultural, dan rasial. Sehingga seperti menurut (Omar ali Shah:
2002) menjadi teknik yang riel, karena terapi yang riel bukanlah menggunakan terapi (termasuk konseling) yang
dikenal paling efektif, tetapi menggunakan
yang cocok dan saling melengkapi.
Ø Aplikasi
Konseling Logoterapi
Konseling logoterapi -seperti
konseling pada umumnya- merupakan kegiatan menolong dimana seorang konselor
memberikan bantuan psikologis kepada seorang klien yang membutuhkan bantuan
untuk pengmbangan diri. Dengan demikian, proses dan tahap-tahap konseling
logoterapi pada dasarnya sejalan dengan proses dan tahap-tahap konseling pada
umumnya, sedangkan komponen-komponen logoterapi sebagai kualitas-kualitas
insani yang dibahas selama konseling.
Tahap pertama,
perkenalan dan pembinaan raport diawali dengan menciptakan suasana nyaman untuk
konsultasi dengan membina raport yang makin lama makin membuka peluang untuk
sebuah ecounter. Inti sebuah ecounter adalah penghargaan pada sesama manusia,
ketulusan hati, dan pelayanan. Percakapan pada tahap ini tak jarang memberikan
efek terapi bagi klien. Omar ali Shah: Antara konselor dan klien sering ada
batas dan dinding yang, disamping diciptakan oleh klien, tapi terkadang juga
konselor menciptakan batas dan dinding itu. Ecounter ini merupakan
karakteristik logoterapi, yang berbeda dengan konseling psikologi barat pada
umumnya, menurut Agha praktisi terapi sufi, cinta adalah faktor yang absen
dalam pemikiran psikologi barat. Masih menurut Agha padahal dasar setiap terapi
adalah 50% cinta dan 50% pemahaman terhadap pasien. Jika memadukan kedua unsur
itu maka terapis secara otomatis mengembangkan sebuah sikap dan teknik yang
baik terhadap pasien dan problem-problemnya. Pemikiran Agha tentang terapi
tentu juga bisa diterapkan untuk konseling logoterapi ini.
Tahap kedua,
pengungkapan dan penjajagan masalah, konselor mulai membuka dialog mengenai
masalah yang dihadapi klien. Berbeda denga konseling lain yang cenderung
membiarkan klien "sepuasnya"
mengungkapkan masalahnya, dalam logoterapi klien sejak awal diarahkan
untuk menghadapi masalah itu sebagai kenyataan.
Tahap ketiga,
pada tahap pembahasan pertama, konselor
dank klien bersama-sama membahas dan menyamakan persepsi atas masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk
menemukan arti hidup sekalipun dalam penderitaan.
Tahap keempat,
tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi yang diperoleh sebagai bahan
untuk tahap selanjutnya, ketahap lima.
Tahap kelima,
pada tahap perubahan sikap dan perilaku klien ini tercakup modifikasi sikap,
orientasi terhadap makna hidup, penemuan dan pemenuhan makna, dan pengurangan
simptom.
2.4 Teknik
Konseling dalam Logoterapi
Logoterapi
tidak hanya mengemukakan asas-asas dan filsafat manusia yang bercorak
humanistik eksistensial, tetapi juga mengembangkan metode dan teknik-teknik
terapi untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis somatogenik, neurosis
psikogenik, dan neurosis noogenik. Metode-metode ini merupakan jabaran dari
pandangan logoterapi yang mengakui kepribadian manusia sebagai totalitasraga-jiwa-rohani
dan logoterapi memfungsikan potensi berbagai kualitas insani untuk
mengembangkan metode dan teknik-teknik terapi.
Frankl
mengembangkan logoterapi bukan sekedar sekumpulan teori, tetapi juga terdapat
teknik-teknik terapi yang spesifik, yang menjadikan logoterapi suatu pendekatan
psikoterapi yang memiliki fungsi pemecahan praktis. Teknik-teknik terapi yang
dimaksud adalah intensif pradoksikal, derefleksi, bimbingan rohani, dan
eksistensial analisis.
Menurut
Frankl, penting untuk untuk dicermati apakah kasus-kasus pasien berkaitan
dengan wilayah empirik atau wilayah transenden. Sebab kalau kasus-kasus
kongkret seperti ketakutan pada ruangterbuka dan fobia-fobia itu tidak bisa
diselesaikan dengan pemahaman filosofis. Namun sebelum memahami teknik-
teknik paradoxical intention dan
dereflection, perlu dibahas lebih dulu suatu fenomena klinis yang disebut
anticipatory anxiety, yakni rasa cemas akan munculnya suatu gejala patologis tertentu
yang justru benar-benar memunculkan apa yang dicemaskannya itu dan tercetusnya
gejala tersebutakan meningkatkan intensitas kecemasan. Dengan demikian
penderita sebenarnya mengalami perasaan “takut menjadi takut” sehingga
seakan-akan terjerat dalam lingkaran kecemasan yang tak berakhir. Terhadap anticipatory anxiety biasanya para penderita
mengembangkan tiga pola reaksi khusus yang dalam logoterapi dikenal sebagai: fligh from fear, fight against obsession, dan
fight for pleasure. Dalam pola flight from fear penderita menghindari semua objek
yang ditakuti dan dicemaskannya. Reaksi ini terdapat pada semua reaksi cemas,
dan secara khas terdapat pada fobia. Sementara itu, pada fight again obsession
penderita mencurahkan segala daya upaya utnuk mengendalikan dan menahan agar
tidak sampai tercetus suatu dorongan aneh yang kuat dalam dirinya. Namun
kenyataanya, makin keras upaya menahannya, makin kuat pula dorongan untuk
muncul
dan makin tegang pula perasaan penderita. Pola reaksi ini jelas merupakan pola
reaksi khas gangguan obsesi dan kompulsi.
Pada fight for plesure terdapat hasrat yang
berlebihan untuk memperoleh kepuasan. Hasrat ini sering disertai kecenderungan
kuat untuk menanti-nantikan dengan penuh harap saat kepuasan itu terjadi pada
dirinya (hyper reflection) dan terlalu menghasrati kenikmatan seccara
berlebihan yang keduanya saling menunjang dalam memperkuat anticipatory
anxiety. Pola reaksi ini sering terdapat pada gangguan seksual (misalnya
frigiditas dan impotensi) dan non seksual (misalnya insomnia). Seperti pola
reaksi pertama, kedua pola reaksi ini
pun mengembangkan mekanisme lingkaran tak berakhir yang makin memperkuat
kecemasan. Untuk mengatasi lingkaran proses yang tak berakhir ini logoterapi
“mengguntingnya” dengan teknik-teknik paradoxical intention dan dereflection.
Teknik-teknik
dalam Terapi:
a.
Paradoxical Intention (pembalikan
keinginan)
Teknik paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan
mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap
kondisi diri sendiri (biologis dan psikologis) dan lingkungan.
Disamping
itu juga rasa humor, khususnya humor terhadap diri sendiri. Dalam penerapannya
teknik ini membantu pasien untuk
menyadari pola keluhannya, mengambil jarak atas keluhannya itu serta
menanggapinya secara humoristis. Dalam kasus-kasus fobia, teknik ini berusaha mengubah sikap
penderita yang semula takut menjadi “akrab” dengan objek yang justru
ditakutinya, sedangkan pada obsesi dan kompulsi yang biasanya penderita
mengendalikan ketat dorongan-dorongannya agar tak tercetus justru diminta untuk
secara sengaja mengharapkan (bahkan memacu) agar dorongan itu benar-benar
muncul. Usaha ini mustahil dilakukan tanpa sikap humoristis pasien atas
dirinya. Pemanfaatan rasa humor ini diharapkan dapat membantu pasien untuk
tidak lagi memandang gangguan-gangguannya sebagai sesuatu yang berat mencekam,
tetapi berubah menjadi lucu.
Titik
tolak dari paradoxical intention ada
dua: pertama adalah kesanggupan manusia untuk bebas bersikap atau mengambil
jarak terhadap diri sendiri, termasuk didalamnya sikap terhadap tingkah laku
dan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua
adalah, bahwa kesengajaan yang memaksa untuk menghindari sesuatu semakin
mendekatkan individu kepada sesuatu yang ingin dihindarinya, dan kesengajaan
yang memaksa untuk mencapai sesuatu semakin menjauhkan individu dari sesuatu
yang ingin dicapainya.
Agar
teknik intensi paradoksikal bisa dipahami lebih baik maka perlu dipapaparkan
penerapan teknik intensi paradoksikal
pada kasus-kasus kongkrit hidrofobia dibawah ini. Seorang pasien
hidrofobia mendatangi Frankl dikliniknya. Si pasien menceritakan kalau gangguan
ini sudah lama. Pada suatu hari si pasien bertemu dengan atasanya di jalan. Dan
ketika dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan atasannya itu,
mendadak tangannya gemetar dan mengeluarkan keringat. Pada kesempatan lain
sipasien kembali bertemu dengan atasannya itu di jalan. Karena telah ada
antisipasi, tangan sipasien gemetar dan berkeringat ketika dia bersalaman
dengan atasan. Jadi sipasien terjebak didalam suatu lingkaran proses yang tak
berakhir: hiperhidrosis mencetuskan hidrofobia, dan kemudian hidrofobia
menghasilkan hiperhidrosis. Untuk memutuskan lingkaran yang tak berakhir, yang telah menjebak pasiennya,
Frankl mengajukan saran kepada sipasien
agar pada kesempatan lain, jika bertemu lagi dengan atasannya, berusaha secara
sengaja menunjukkan kepada atasannya itu bahwa dia bias menggetarkan tangan dan mengeluarkan
keringat banyak. Saran ini diikuti oleh si pasien. Ketika sipasien bertemu
kembali dengan atasannya, dia berkata kepada diri sendiri, “aku sebelumnya
hanya berkeringat sedikit. Sekarang aku akan mengeluarkan keringat
sebanyak-banyaknya jika bersalaman dengan dia.” Apa hasil intensi paradoksikal
ini? Si pasien ternyata tidak mengeluarkan keringat sedikit pun ketika dia
bersalaman dengan atasannya.
b. De-reflection (meniadakan perenungan)
Sama
seperti intensi paradoksikal, untuk menjelaskan prinsip derefleksi Frankl juga
menggunakan kecemasan antisipatori sebagai titik tolak. Menurut Frankl pada kasus
dimana kecemasan antisipatori menunjukkan pengaruhnya yang kuat, kita bisa
mengamati satu fenomena yang cukup menonjol, yakni paksaan kepada observasi
diri atau pemaksaan untuk mengatasi diri sendiri. Istilah lain untuk fenomena
tersebut adalah perenungan yang berlebihan (hyper-reflection). Di dalam
etiologi suatu neurosis, menurut Frankl,
kita sering menemukan pelebihan perhatian maupun keinginan. Ini khususnya
terjadi pada kasus insomnia dimana
keinginan yang memaksa untuk tidur disertai oleh perhatian yang berlebihan dan
dipaksakan untuk mengamati apakah keinginan itu efektif atau tidak. Para
penderita insomnia sering melaporkan bahwa mereka menjadi begitu sadar atas
kesulitan tidur terutama jika mereka pergi ketempat tidur. Perhatian yang
berlebihan serta keinginan yang memaksa untuk tidur justru menghambat proses
tidur dan, sebaliknya, merangsang keterjagaan. Derefleksi memanfaatkan
kemampuan transendensi diri (self-transcendence) yang ada pada setiap manusia
dewasa. Artinya kemampuan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi
kondisi yang tak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada
hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Jadi pasien tidak sebatas hanya dianjurkan untuk
mengabaikan gejala-gejalanya, tetapi dicurahkan untuk memperhatikan tugas
tertentu didalam hidupnya, atau dengan perkataan lain, dikonfrontasikan kepada
makna keberadaanya. Frankl kembali menekankan bahwa konfrontasi dengan makna bukan sesuatu yang neurotik, melainkan
justru sesuatu yang sehat, suatu komitmen diri yang merupakan syarat bagi
kesehatan. Hal ini juga didukung pernyataan Allport: “Apabila fokus dorongan
beralih dari konflik kepada tujuan-tujuan yang tidak terpusat pada diri
sendiri, maka hidup seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun
boleh jadi neurosisnya tidak akan pernah sepenuhnya hilang”. Jadi derefleksi
membantu membantu pasien untuk menemukan makna. Seperti pernyataan Gofryd
Kaczanowski yang intinya menyebutkan bahwa derefleksi adalah suatu teknik
terapi yang kurang spesifik, lebih sulit namun lebih logoterapeutik dibanding
dengan intensi paradoksikal.Ada suatu teknik dari Herbert dan William (2003)
yang kurang lebih sama dengan derefleksi, namun mempunyai tujuan yang berbeda
yaitu memasrahkan diri. Menurutnya sikap ini perlu pada saat kita sudah berada
pada batas kemampuan dan jalan buntu. Karena sikap pasrah total dapat memutuskan ikatan masa
lalu, membawa anda pindah dari pola pikiran yang merusak, dan menuju kinerja
yang lebih baik.
c. Bimbingan Rohani
Bimbingan
rohani kirannya bisa dilihat sebagai ciri paling menonjol dari logoterapi
sebagai psikoterapi berwawasan spiritual. Sebab bimbingan rohani merupakan
metode yang secara eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan
sasaran pemenuhan makna oleh individu atau pasien melalui realisasi nilai-nilai
terakhir yang bisa ditemuinya, nilai-nilai bersikap. Jelasnya bimbingan rohani
merupakan metode yang khusus digunakan pada penanganan kasus dimana individu
dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau nasib buruk
yang tidak bisa diubahnya, tidak lagi mampu berbuat selain menghadapi dengan
cara mengembangkan sikap yang tepat dan positif terhadap penderitaan itu. Pendekatan
ini memanfaatkan kemampuan untuk mengambil sikap (to take a stand) terhadap
kondisi diri dan lingkungan yang tak mungkin diubah logoterapi lagi. Bimbingan
rohani merupakan perealisasian dari nilai-nilai bersikap sebagai salah satu
sumber makna hidup. Tujuan utama metode bimbingan rohani membantu seseorang
menemukan makna dari penderitaanya: Meaning in suffering. Dalam bimbingan
rohani logoterapi juga mengajarkan
tentang kefanaan hidup. Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini
hanyalah sementara. Begitu juga dengan penderitaan yang harus dijalaninya,
semuanya juga akan berakhir. Namun dengan dengan kefanaan keberadaan kita
jangan sampai membuat kita tidak berharga, tapi justru mewajibkan kita untuk
bertanggung jawab. Dalam pemikirannya tentang kefanaan hidup logoterapi bukan
pesimistik tetapi lebih aktivistik. Untuk menjelaskan pemikiran berikut
penjelasannya : orang yang pesimis mirip dengan manusia yang mengamati kalender
dindingnya dengan penuh ketakutan dan kesedihan, setiap lembar yang dibuka dia
menangis, dia menjadi kurus setiap hari berlalu. Disisi lain seseorang yang menghadapi problem kehidupan secara aktif
adalah sepertim orang yang memindahkan setiap lembar kesuksesan dari
kalendernya dan mengisinya dengan rapi dan hati-hati dengan semua lembar
sebelumnya, setelah mulanya tercatat dalam beberapa diary dibelakang.
d. Ekstensial
Analisis
Terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami
keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan
potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak
berdasarkan kemampuannya
Dalam
analisis eksistensial, psikolog tidak mengarahkan, membimbing, atau menilai
klien berdasarkan praduga-praduga. Tugas psikolog hanyalah membantu klien
menjadi dirinya yang otentik.
Terapi
eksistensial, terutama berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa melarikan
diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu saling
berkaitan. Manusia memilki
kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan
nyata yang memungkinkan manusia berpikir dan memutuskan.
Doktrin
utama dalam eksistensialisme bahwa manusia bebas untuk memilih. Manusia
merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Artinya manusia bertanggung
jawab terhadap dirinya. Dalam membentuk dirinya, manusia mendapat kesempatan
setiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik baginya. Setiap
pilihan dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang dihadapinya adalah
pilihannya sendiri.
1 komentar:
terimakasih, sangat menambah pengetahuan
Ikutan Komentar