Jumat, 26 April 2013

Konseling Logotherapy Frankl


1.1 Biografi Viktor Emile Frankl
Viktor Emile Frankl dilahirkan di Wina Austria pada tanggal 26 maret 1905 dari keluarga Yahudi saleh. Nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme berpengeruh kuat atas diri Frankl. Pengaruh ini ditunjukkan antara lain oleh minat Frankl yang besar pada persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Pendidikan tinggi pertama yang diraih Frankl adalah kedokteran dengan
spesialisasi neurologi dan kemudian psikiatri diselesaikannya di universitas Wina. Di universitas yang sama ia meraih gelar doctor dan membaktikan diri sebagai pengajar, disamping prakteknya sebagai terapis di Poliklinik Hospital Wina. Kota Wina kelahirannya, adalah sebagai salah satu pusat kebudayaan yang terpenting di eropa dan melahirkan tokoh-tokoh seni dan ilmu pengetahuan termasuk tokoh-tokoh psikologi. Kota Wina relatif bersih dari antisemitisme, sehingga tidak mengherankan bahwa banyak warga keturunan Yahudi – termasuk Frankl –memilih kota   ini sebagai tempat menetap dan mengembangkan karir.
Sehingga kota tempat tinggal Frankl kondusif untuk  mengembangkan intelektualitasnya. Apalagi Freud dan Adler yang merupakan tokoh yang ikut menentukan perjalanan intelektualnya juga lahir di kota Wina ini Frankl pada waktu berusia 14 tahun ia sudah tertarik dengan mempelajari filsafat alam. Kemudianpada usia 15 tahun Frankl ikut sekolah malam untuk orang-orang dewasa dan mengambil pelajaran “Psikologi Terapan” dan “Psikologi Eksperimen,” kemudian mengikuti kursus Psikoanalisis yang diberikan oleh Paul Schider dan Eduard Hitschmann yang keduanya adalah  pengikut setia Freud. Tahun 1922, saat Frankl berusia 17 tahun, ia diminta oleh pengelola sekolah malam untuk memberikan pelajaran mengenai arti kehidupan. Keikutsertaan Frankl dalam kursus-kursus ini menimbulkan minat besar untuk belajar Psikoanalisis, sehingga ia sering menulis surat kepada Freud, pelopor dan pendiri Psikoanalisis. Akhirnya terjadi korespondensi selama 2 tahun. Ketika Frankl akan mengakhiri pendidikan SMU, diwajibkan menulis makalah sebagai tugas akhir.
Frankl menulis sebuah makalah tentang kaitan antara psikologi dengan pemikiran filsafat yang dijelaskan sepenuhnya dengan menggunakan teori Psikoanalisis. Ini menunjukkan pengaruh Psikoanalisis cukup besar pada diri Frankl waktu itu. Perjalanan intelektualitas Frankl selanjutnya, terhentinya hubungan dengan Freud karena tidak setuju dengan teori dan asas-asas psikoanalisis yang dianggapnya deterministis dan berorientasi pada unsur psikoseksual. Ia kemudian bergabung dengan Alfred Adler, seorang murid Sigmund Freud yang menentang pandangan gurunya dan mengembangkan aliran sendiri yang dinamakan Psikologi Individual. Dalam kelompok ini sekalipun Viktor Frankl adalah anggota termuda, tetapi pemikirannya yang kritis dan mendalam sangat dihargai anggota-anggota lainnya. Kemudian hubungan dengan Adler pun juga mulai renggang setelah  Frankl dekat dengan orang yang kritis dengan Adler. Lebih-lebih setelah arah minat Frankl mulai cenderung kepada fenomenologi dan eksistensialisme dan menerbitkan majalah sendiri “man in daily life.”  Akhirnya Viktor Frankl dipecat dari asosiasi karena dianggap tidak loyal dan pandangan-pandangannya dinilai menyimpang dari kerangka pemikiran psikologi individual. Tahun 1929 saat Frankl berusia 24 tahun, sebelum Perang Dunia II, Frankl telah dikenal sebagai dokter muda pendiri “Pusat Bimbingan Remaja” dikota Wina. Pihak universitas menganggap bahwa Frankl telah menguasai psikoterapi, sehingga universitas mengizinkan untuk praktek psikoterapi, sekalipun belum menyelesaikan pendidikan spesialisasinya. Mulai tahun 30-an Frankl aktif mengungkapkan pandangan-pandangan sendiri dan menyosialisasikan konsep-konsep baru seperti  “existential vacuum,” “self trascendence” dan “logotherapie.”  Tahun 1937 setelah menyelesaikan pendidikan spesialisasi Frankl membuka praktek pribadi sebagai neuropsikiater dan mengamalkan pendeketan logoterapi. Beberapa bulan kemudian Hitler dengan Nazinya menguasai Austria dan kota Wina. Nazi meneror kaum yahudi. Pada waktu itu Frankl yang berencana mau menerbitkan naskah bukunya tentang makna hidup  dan tinjauan baru atas berbagai gangguan dan penyakit jiwa, tetapi gagal karena situasi negara mulai tidak aman sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II. Ketika situasi mulai tidak aman dan tentara Jerman  mulai menguasai Austria, saat itu Viktor Frankl  dan istrinya sebenarnya telah memiliki surat izin bermigrasi ke Amerika Serikat, tetapi ia mempertimbangkan untuk tidak  menggunakan kesempatan itu karena tidak sampai hati meninggalkan orang tua dan sanak keluarga yang dicintai serta para pasien  yang dirawatnya. Akhirnya kesempatan itu tidak digunakan sama sekali dan diberikan kepada saudara perempuannya yang bermigrasi ke Australia sebelum tentara Nazi menduduki kota Wina. Setelah Jerman benar-benar menguasai Austria, Frankl ditunjuk pihak Nazi untuk mengepalai Bagian Saraf di RS Rothschild rumah sakit untuk orang Yahudi, tetapi kemudian Frankl dan keluarganya beserta warga Yahudi lain digiring untuk dikirim ke kamp konsentrasi. Ada empat tempat kamp konsentrasi yang dijalaninya selama hampir 3 tahun, antara lain : kamp konsentrasi Dachau, Maidanek, Treblinka, dan Auschwitz. Sebagai ilmuwan sejati Frankl ingin membuktikan teorinya mengenai makna hidup yang sudah dirintis sebelum masuk kamp konsentrasi. Kegiatan sehari-harinya secara diam-diam melakukan semacam konseling dan psikoterapi kepada sesama tahanan, agar bisa bertahan dalam penderitaan dengan mengarahkan untuk meraih makna dalam penderitaannya. Di Auschwitz adalah kamp konsentrasi paling kejam diantara ketiga tempat tersebut. Kamp konsentrasi ini paling terkenal dan tercatat dalam sejarah Perang Dunia II sebagai sejarah tragedi umat manusia. Di tempat itulah telah terjadi pelecehan, penyiksaan, pembantaian, dan pemusnahan banyak sekali manusia yang tak berdaya (warga Yahudi). Dalam penderitaan itu ada dua macam reaksi mental dan perilaku, pertama ada yang berubah menjadi seperti binatang yang serakah dan bringas, dimana mereka tidak dapat mengendalikan diri atas dorongan-dorongan dasar (makan, minum, seks) yang mencerminkan kehampaan  dan ketidak bermaknaan (meaningless) hidup. Yang kedua, kebalikan dari yang pertama ada yang berlaku seperti orang suci. Dalam puncak penderitaan mereka masih mau tetap berbagi dan tabah menjalaninya yang mencerminkan bahwa mereka masih berusaha agar senantiasa tetap menghargai hidup dan menghayati hidup yang bermakna. Mereka seakan-akan menemukan makna dalam penderitaan. Frankl mengamati para tahanan tersebut mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam menjalani penderitaan. Kalaupun sampai menyongsong ajal mereka menghadapi kematian dengan perasaan bermakna dan tabah.
2.2 Tujuan Konseling Logotherapy Frankl
Tujuan dari konseling dalam pendekatan logoterapi ini diantaranya ialah mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita
tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat
mendedikasikan eksistensi kita. Namun kalaulah hidup diisi dengan
penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian
menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau
prestasi dan kemenangan
. Diharapkan agar klien bisa menemukan dan memenuhi makna serta tujuan hidupnya dengan jalan lebih menyadari sumber-sumber makna hidup, mengaktualisasi potensi diri, meningkatkan keakraban hubungan antarpribadi, berpikir dan bertindak positif, menunjukkan prestasi dan kualitas kerja optimal, mendalami nilai-nilai kehidupan, mengambil sikap tepat atas musibah yang dialami, serta memantabkan ibadah kepada tuhan.
Logoterapi membantu klien agar lebih sehat secara  emosional, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah memperkenalkan filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu mengajak untuk menemukan makna  hidupnya. Ada tiga asas utama logoterapi yang menjadi inti dari terapi ini, yaitu:
·    Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup.
·        Setiap manusia memiliki kebebasan – yang hampir tidak terbatas – untuk menentukan sendiri makna hidupnya. Dari sini kita dapat memilih makna atas setiap peristiwa yang terjadi dalam diri kita, apakah itu makna positif atupun makna yang negatif. Makna positif ini lah yang dimaksud dengan hidup bermakna.
·        Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mangambil sikap terhadap peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa dirinya sendiri dan lingkungan sekitar. Contoh yang jelas adalah seperti kisah Imam Ali, ia jelas-jelas mendapatkan musibah yang tragis, tapi ia mampu memaknai apa yang terjadi secara positif sehingga walaupun dalam keadaan yang seperti itu Imam tetap bahagia.
“(Langit kota Kufah 19 Ramadhan tahun 40 Hijriyah sudah mulai menampakkan cahaya kekuningan. Baru saja Imam Ali ibn Abi Thalib as. mulai mengimami sholat shubuh. Seketika, ketika ia baru saja mengangkat kepalanya dari sujud, pedang beracun Ibnu Muljam langsung menghantam kepala sang Imam. Dengan senyuman, Imam Ali langsung mengusapkan darah yang membasahi janggut kepada wajahnya. Dengan wajah tenang, mulutnya berucap: “Fuztu wa Rabbil Ka’bah. demi Tuhan yang memelihara Ka’bah, sungguh aku bahagia!”. Kisah ini sengaja di kutip sebagai pengantar agar lebih dapat memahami logoterapi. Kisah Imam Ali diatas jelas-jelas merupakan sebuah kemalangan, jelas-jelas apa yang dialami Amirul Mukminin adalah sebuah musibah, jelas-jelas sebuah bencana yang mengantarkannya kepada kematian. Tapi apa yang terjadi? Apa yang diucapkan Imam Ali? “Fuztu wa Rabbil Ka’bah. demi Tuhan yang memelihara Ka’bah, sungguh aku bahagia!”. Luar biasa. Sikap Imam Ali inilah sebenarnya yang menjadi tujuan dari Logoterapi).”
2.3 Proses Konseling Logoterapi Frankl
Logoterapi dengan filsafat manusia, asas-asas, metode, dan pendekatannya memberi corak khusus pada kegiatan konseling sebagai salah satu bentuk aplikasinya. Karakteristik logoterapi bisa dilihat dari tujuan konseling logoterapi yaitu diharapkan agar pasien bisa menemukan dan memenuhi makna serta tujuan hidupnya dengan jalan lebih menyadari sumber-sumber makna hidup, mengaktualisasi potensi diri, meningkatkan keakraban hubungan antarpribadi, berpikir dan bertindak positif, menunjukkan prestasi dan kualitas kerja optimal, mendalami nilai-nilai kehidupan, mengambil sikap tepat atas musibah yang dialami, serta memantabkan ibadah kepada tuhan. Jadi dari gambaran diatas menunjukkan bahwa konseling logoterapi merupakan konseling individual untuk masalah ketidakjelasan makna dan tujuan hidup, yang sering menimbulkan kehampaan dan hilangnya gairah hidup. Jadi bukan untuk problema eksistensial dan patologis berat yang memerlukan bantuan psikoterapi. Selain itu karakteristik konseling logoterapi adalah jangka pendek, berorientasi masa depan, dan berorientasi pada makna hidup. Dalam konseling ini, khususnya dalam proses penemuan makna hidup, terapis bertindak sebagai rekan-yang-berperan-serta (the participating partner) yang sedikit demi sedikit menarik keterlibatannya bila klien telah mulai menyadari dan menemukan makna hidupnya. Untuk itu relasi konselor dengan klien harus mengembangkan ecounter, yaitu hubungan antar pribadi yang ditandai oleh keakraban dan keterbukaan, serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai, memahami, dan menerima sepenuhnya satu sama lain. Fungsi terapis dalam hal ini adalah membantu  membuka cakrawala pandangan klien terhadap berbagai nilai dan pengalaman hidup yang secara potensial memungkinkan ditemukannya makna hidup, yakni bekerja dan berkarya (creative values); menghayati cinta kasih, keindahan. Dan kebenaran (experiential values); sikap yang tepat menghadapi musibah yang tak terelakkan (attitudinal values); serta memiliki harapan akan terjadinya perubahan yang lebih baik dimasa mendatang.
Ø  Tahap-tahap Konseling Logoterapi
       Proses konseling pada umumnya mencakup tahap-tahap: perkenalan, pengungkapan, dan penjajagan masalah, pembahasan bersama, evaluasi dan penyimpulan, serta pengubahan sikap dan perilaku. Biasanya setelah masa konseling berakhir  masih dilanjutkan dengan pemantauan atas upaya
perubahan perilaku dan klien dapat melakukan konsultasi lanjutan apabila memerlukan. Dilain pihak tentu saja corak dan proses konseling dapat berbeda-beda sesuai teori dan metode yang dianut, serta permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai. Elisabeth Lukas misalnya mengajukan empat langkah logoterapi, sebagai berikut.
a). mengambil jarak atas symptom: terapis membantu menyadarkan klien bahwa simptom sama sekali tidak "mewakili" dirinya. Simptom tidak lain hanyalah kondisi yang "dimiliki" dan dapat dikendalikan.
b). modifikasi sikap: terapis–tanpa  melimpahkan pandangan dan sikap pribadinya- membantu klien untuk mendapatkan pandangan baru atas diri sendiri dan situasi hidupnya, kemudian menentukan sikap baru untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam mencapai kehidupan yang lebih sehat.
c). pengurangan simptom: terapis membantu klien menerapkan teknik-teknik logoterapi untuk menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi dan mengendalikan sendiri keluhan dan simptomnya.
d). orientasi terhadap makna: terapis bersama kliennya membahas nilai dan  makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan klien, kemudian memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan-tujuan yang lebih kongkrit. Dan dalam kenyataanya, konseling logoterapi sangat luwes, dalam artian bisa direktif  dan bisa non direktif serta tidak kaku dalam mengikuti tahapan-tahapan konseling. Logoterapi juga telah ada beberapa yang memodifikasi dan juga dipadukan dengan pendekatan lain. Dengan logoterapi yang dipadukan dengan metode-metode dan pemikiran lain, konselor bisa mengaplikasikan dalam suasana yang berbeda-beda, baik yang bersifat sosial, kultural, dan rasial. Sehingga seperti menurut (Omar ali Shah: 2002) menjadi teknik yang riel, karena terapi yang riel bukanlah  menggunakan terapi (termasuk konseling) yang dikenal paling efektif, tetapi menggunakan  yang cocok dan saling melengkapi.
Ø  Aplikasi Konseling Logoterapi
          Konseling logoterapi -seperti konseling pada umumnya- merupakan kegiatan menolong dimana seorang konselor memberikan bantuan psikologis kepada seorang klien yang membutuhkan bantuan untuk pengmbangan diri. Dengan demikian, proses dan tahap-tahap konseling logoterapi pada dasarnya sejalan dengan proses dan tahap-tahap konseling pada umumnya, sedangkan komponen-komponen logoterapi sebagai kualitas-kualitas insani yang dibahas selama konseling.
Tahap pertama, perkenalan dan pembinaan raport diawali dengan menciptakan suasana nyaman untuk konsultasi dengan membina raport yang makin lama makin membuka peluang untuk sebuah ecounter. Inti sebuah ecounter adalah penghargaan pada sesama manusia, ketulusan hati, dan pelayanan. Percakapan pada tahap ini tak jarang memberikan efek terapi bagi klien. Omar ali Shah: Antara konselor dan klien sering ada batas dan dinding yang, disamping diciptakan oleh klien, tapi terkadang juga konselor menciptakan batas dan dinding itu. Ecounter ini merupakan karakteristik logoterapi, yang berbeda dengan konseling psikologi barat pada umumnya, menurut Agha praktisi terapi sufi, cinta adalah faktor yang absen dalam pemikiran psikologi barat. Masih menurut Agha padahal dasar setiap terapi adalah 50% cinta dan 50% pemahaman terhadap pasien. Jika memadukan kedua unsur itu maka terapis secara otomatis mengembangkan sebuah sikap dan teknik yang baik terhadap pasien dan problem-problemnya. Pemikiran Agha tentang terapi tentu juga bisa diterapkan untuk konseling logoterapi ini.
Tahap kedua, pengungkapan dan penjajagan masalah, konselor mulai membuka dialog mengenai masalah yang dihadapi klien. Berbeda denga konseling lain yang cenderung membiarkan klien "sepuasnya"  mengungkapkan masalahnya, dalam logoterapi klien sejak awal diarahkan untuk menghadapi masalah itu sebagai kenyataan.
Tahap ketiga, pada tahap pembahasan pertama,  konselor dank klien bersama-sama membahas dan menyamakan persepsi atas  masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk menemukan arti hidup sekalipun dalam penderitaan.
Tahap keempat, tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi   atas informasi yang diperoleh sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, ketahap lima.
Tahap kelima, pada tahap perubahan sikap dan perilaku klien ini tercakup modifikasi sikap, orientasi terhadap makna hidup, penemuan dan pemenuhan makna, dan pengurangan simptom.
2.4 Teknik Konseling dalam Logoterapi
Logoterapi tidak hanya mengemukakan asas-asas dan filsafat manusia yang bercorak humanistik eksistensial, tetapi juga mengembangkan metode dan teknik-teknik terapi untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis somatogenik, neurosis psikogenik, dan neurosis noogenik. Metode-metode ini merupakan jabaran dari pandangan logoterapi yang mengakui kepribadian manusia sebagai totalitasraga-jiwa-rohani dan logoterapi memfungsikan potensi berbagai kualitas insani untuk mengembangkan metode dan teknik-teknik terapi.
Frankl mengembangkan logoterapi bukan sekedar sekumpulan teori, tetapi juga terdapat teknik-teknik terapi yang spesifik, yang menjadikan logoterapi suatu pendekatan psikoterapi yang memiliki fungsi pemecahan praktis. Teknik-teknik terapi yang dimaksud adalah intensif pradoksikal, derefleksi, bimbingan rohani, dan eksistensial analisis.
Menurut Frankl, penting untuk untuk dicermati apakah kasus-kasus pasien berkaitan dengan wilayah empirik atau wilayah transenden. Sebab kalau kasus-kasus kongkret seperti ketakutan pada ruangterbuka dan fobia-fobia itu tidak bisa diselesaikan dengan pemahaman filosofis. Namun sebelum memahami teknik- teknik  paradoxical intention dan dereflection, perlu dibahas lebih dulu suatu fenomena klinis yang disebut anticipatory anxiety, yakni rasa cemas akan munculnya suatu gejala patologis tertentu yang justru benar-benar memunculkan apa yang dicemaskannya itu dan tercetusnya gejala tersebutakan meningkatkan intensitas kecemasan. Dengan demikian penderita sebenarnya mengalami perasaan “takut menjadi takut” sehingga seakan-akan terjerat dalam lingkaran kecemasan yang tak berakhir. Terhadap  anticipatory anxiety biasanya para penderita mengembangkan tiga pola reaksi khusus yang dalam logoterapi dikenal sebagai:  fligh from fear, fight against obsession, dan fight for pleasure. Dalam pola flight from fear penderita menghindari semua objek yang ditakuti dan dicemaskannya. Reaksi ini terdapat pada semua reaksi cemas, dan secara khas terdapat pada fobia. Sementara itu, pada fight again obsession penderita mencurahkan segala daya upaya utnuk mengendalikan dan menahan agar tidak sampai tercetus suatu dorongan aneh yang kuat dalam dirinya. Namun kenyataanya, makin keras upaya menahannya, makin kuat pula dorongan untuk
muncul dan makin tegang pula perasaan penderita. Pola reaksi ini jelas merupakan pola reaksi khas gangguan obsesi dan kompulsi.
Pada  fight for plesure terdapat hasrat yang berlebihan untuk memperoleh kepuasan. Hasrat ini sering disertai kecenderungan kuat untuk menanti-nantikan dengan penuh harap saat kepuasan itu terjadi pada dirinya (hyper reflection) dan terlalu menghasrati kenikmatan seccara berlebihan yang keduanya saling menunjang dalam memperkuat anticipatory anxiety. Pola reaksi ini sering terdapat pada gangguan seksual (misalnya frigiditas dan impotensi) dan non seksual (misalnya insomnia). Seperti pola reaksi pertama,  kedua pola reaksi ini pun mengembangkan mekanisme lingkaran tak berakhir yang makin memperkuat kecemasan. Untuk mengatasi lingkaran proses yang tak berakhir ini logoterapi “mengguntingnya” dengan teknik-teknik paradoxical intention dan dereflection.
Teknik-teknik dalam Terapi:
 a.  Paradoxical Intention  (pembalikan keinginan) 
Teknik  paradoxical intention  pada dasarnya memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri (biologis dan psikologis) dan lingkungan.
Disamping itu juga rasa humor, khususnya humor terhadap diri sendiri. Dalam penerapannya teknik ini membantu pasien  untuk menyadari pola keluhannya, mengambil jarak atas keluhannya itu serta menanggapinya secara humoristis. Dalam kasus-kasus  fobia, teknik ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula takut menjadi “akrab” dengan objek yang justru ditakutinya, sedangkan pada obsesi dan kompulsi yang biasanya penderita mengendalikan ketat dorongan-dorongannya agar tak tercetus justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan (bahkan memacu) agar dorongan itu benar-benar muncul. Usaha ini mustahil dilakukan tanpa sikap humoristis pasien atas dirinya. Pemanfaatan rasa humor ini diharapkan dapat membantu pasien untuk tidak lagi memandang gangguan-gangguannya sebagai sesuatu yang berat mencekam, tetapi  berubah menjadi lucu.
Titik tolak dari  paradoxical intention ada dua: pertama adalah kesanggupan manusia untuk bebas bersikap atau mengambil jarak terhadap diri sendiri, termasuk didalamnya sikap terhadap tingkah laku dan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua adalah, bahwa kesengajaan yang memaksa untuk menghindari sesuatu semakin mendekatkan individu kepada sesuatu yang ingin dihindarinya, dan kesengajaan yang memaksa untuk mencapai sesuatu semakin menjauhkan individu dari sesuatu yang ingin dicapainya.
Agar teknik intensi paradoksikal bisa dipahami lebih baik maka perlu dipapaparkan penerapan teknik intensi paradoksikal  pada kasus-kasus kongkrit hidrofobia dibawah ini. Seorang pasien hidrofobia mendatangi Frankl dikliniknya. Si pasien menceritakan kalau gangguan ini sudah lama. Pada suatu hari si pasien bertemu dengan atasanya di jalan. Dan ketika dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan atasannya itu, mendadak tangannya gemetar dan mengeluarkan keringat. Pada kesempatan lain sipasien kembali bertemu dengan atasannya itu di jalan. Karena telah ada antisipasi, tangan sipasien gemetar dan berkeringat ketika dia bersalaman dengan atasan. Jadi sipasien terjebak didalam suatu lingkaran proses yang tak berakhir: hiperhidrosis mencetuskan hidrofobia, dan kemudian hidrofobia menghasilkan hiperhidrosis. Untuk memutuskan lingkaran yang tak  berakhir, yang telah menjebak pasiennya, Frankl mengajukan saran kepada  sipasien agar pada kesempatan lain, jika bertemu lagi dengan atasannya, berusaha secara sengaja menunjukkan kepada atasannya itu bahwa dia  bias menggetarkan tangan dan mengeluarkan keringat banyak. Saran ini diikuti oleh si pasien. Ketika sipasien bertemu kembali dengan atasannya, dia berkata kepada diri sendiri, “aku sebelumnya hanya berkeringat sedikit. Sekarang aku akan mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya jika bersalaman dengan dia.” Apa hasil intensi paradoksikal ini? Si pasien ternyata tidak mengeluarkan keringat sedikit pun ketika dia bersalaman dengan atasannya.
b.   De-reflection  (meniadakan perenungan)
Sama seperti intensi paradoksikal, untuk menjelaskan prinsip derefleksi Frankl juga menggunakan kecemasan antisipatori sebagai titik tolak. Menurut Frankl pada kasus dimana kecemasan antisipatori menunjukkan pengaruhnya yang kuat, kita bisa mengamati satu fenomena yang cukup menonjol, yakni paksaan kepada observasi diri atau pemaksaan untuk mengatasi diri sendiri. Istilah lain untuk fenomena tersebut adalah perenungan yang berlebihan (hyper-reflection). Di dalam etiologi suatu  neurosis, menurut Frankl, kita sering menemukan pelebihan perhatian maupun keinginan. Ini khususnya terjadi pada kasus  insomnia dimana keinginan yang memaksa untuk tidur disertai oleh perhatian yang berlebihan dan dipaksakan untuk mengamati apakah keinginan itu efektif atau tidak. Para penderita insomnia sering melaporkan bahwa mereka menjadi begitu sadar atas kesulitan tidur terutama jika mereka pergi ketempat tidur. Perhatian yang berlebihan serta keinginan yang memaksa untuk tidur justru menghambat proses tidur dan, sebaliknya, merangsang keterjagaan. Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri (self-transcendence) yang ada pada setiap manusia dewasa. Artinya kemampuan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Jadi pasien  tidak sebatas hanya dianjurkan untuk mengabaikan gejala-gejalanya, tetapi dicurahkan untuk memperhatikan tugas tertentu didalam hidupnya, atau dengan perkataan lain, dikonfrontasikan kepada makna keberadaanya. Frankl kembali menekankan bahwa konfrontasi dengan  makna bukan sesuatu yang neurotik, melainkan justru sesuatu yang sehat, suatu komitmen diri yang merupakan syarat bagi kesehatan. Hal ini juga didukung pernyataan Allport: “Apabila fokus dorongan beralih dari konflik kepada tujuan-tujuan yang tidak terpusat pada diri sendiri, maka hidup seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun boleh jadi neurosisnya tidak akan pernah sepenuhnya hilang”. Jadi derefleksi membantu membantu pasien untuk menemukan makna. Seperti pernyataan Gofryd Kaczanowski yang intinya menyebutkan bahwa derefleksi adalah suatu teknik terapi yang kurang spesifik, lebih sulit namun lebih logoterapeutik dibanding dengan intensi paradoksikal.Ada suatu teknik dari Herbert dan William (2003) yang kurang lebih sama dengan derefleksi, namun mempunyai tujuan yang berbeda yaitu memasrahkan diri. Menurutnya sikap ini perlu pada saat kita sudah berada pada batas kemampuan dan jalan buntu. Karena sikap  pasrah total dapat memutuskan ikatan masa lalu, membawa anda pindah dari pola pikiran yang merusak, dan menuju kinerja yang lebih baik.
c.  Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani kirannya bisa dilihat sebagai ciri paling menonjol dari logoterapi sebagai psikoterapi berwawasan spiritual. Sebab bimbingan rohani merupakan metode yang secara eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan sasaran pemenuhan makna oleh individu atau pasien melalui realisasi nilai-nilai terakhir yang bisa ditemuinya, nilai-nilai bersikap. Jelasnya bimbingan rohani merupakan metode yang khusus digunakan pada penanganan kasus dimana individu dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau nasib buruk yang tidak bisa diubahnya, tidak lagi mampu berbuat selain menghadapi dengan cara mengembangkan sikap yang tepat dan positif terhadap penderitaan itu. Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan untuk mengambil sikap (to take a stand) terhadap kondisi diri dan lingkungan yang tak mungkin diubah logoterapi lagi. Bimbingan rohani merupakan perealisasian dari nilai-nilai bersikap sebagai salah satu sumber makna hidup. Tujuan utama metode bimbingan rohani membantu seseorang menemukan makna dari penderitaanya: Meaning in suffering. Dalam bimbingan rohani logoterapi juga mengajarkan  tentang kefanaan hidup. Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini hanyalah sementara. Begitu juga dengan penderitaan yang harus dijalaninya, semuanya juga akan berakhir. Namun dengan dengan kefanaan keberadaan kita jangan sampai membuat kita tidak berharga, tapi justru mewajibkan kita untuk bertanggung jawab. Dalam pemikirannya tentang kefanaan hidup logoterapi bukan pesimistik tetapi lebih aktivistik. Untuk menjelaskan pemikiran berikut penjelasannya : orang yang pesimis mirip dengan manusia yang mengamati kalender dindingnya dengan penuh ketakutan dan kesedihan, setiap lembar yang dibuka dia menangis, dia menjadi kurus setiap hari berlalu. Disisi lain seseorang yang  menghadapi problem kehidupan secara aktif adalah sepertim orang yang memindahkan setiap lembar kesuksesan dari kalendernya dan mengisinya dengan rapi dan hati-hati dengan semua lembar sebelumnya, setelah mulanya tercatat dalam beberapa diary dibelakang.
d. Ekstensial Analisis
Terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya
Dalam analisis eksistensial, psikolog tidak mengarahkan, membimbing, atau menilai klien berdasarkan praduga-praduga. Tugas psikolog hanyalah membantu klien menjadi dirinya yang otentik.
Terapi eksistensial, terutama berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Manusia memilki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia berpikir dan memutuskan.
Doktrin utama dalam eksistensialisme bahwa manusia bebas untuk memilih. Manusia merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Artinya manusia bertanggung jawab terhadap dirinya. Dalam membentuk dirinya, manusia mendapat kesempatan setiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik baginya. Setiap pilihan dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang dihadapinya adalah pilihannya sendiri.

1 komentar:

Neuzhik mengatakan...

terimakasih, sangat menambah pengetahuan

Ikutan Komentar