Rabu, 18 Juli 2012
Terbanyak belum Tentu Benar
Fir’aun mengaku dia lebih benar daripada Nabi Musa dan Nabi Harun karena dia dapat mengarahkan negeri Mesir sedangkan Nabi Musa bercakap pun gagap dan hanya memiliki sebatang tongkat.
Abu Lahab dan Abu Jahal juga pernah berkata bahwa dia lebih benar karena dia lebih banyak harta daripada Nabi Muhammad. Hindun isteri Abu Sufyan (sebelum masuk Islam) juga pernah berkata bahwa dia juga benar karena satu hari Kaumnya (Quraish) menang atas nabi Muhammad dan sahabatnya karena kaumnya mencapai kemenangan dalam peperangan Uhud.
Benarkah ukuran kebenaran bahwa yang banyak itu benar, yang sedikit itu salah; yang kaya itu benar, yang miskin itu salah; yang menang itu benar manakala yang kalah itu salah?
Bagi sebagian masyarakat hari ini, itulah ukuran benar dan salah. Yang mayoritas senantiasa dilihat benar; yang sedikit seringkali dan acapkali bahkan berkali-kali dianggap salah. Inilah yang sedang ditunjuk-tunjukkan oleh sesiapa saja yang menang dan yang banyak.
Apakah pada pandangan Allah SWT juga sama dengan pandangan manusia? “Kebenaran itu dari Rabbmu, janganlah kamu menjadi orang yang ragu.” (Q.S. Al-Baqarah: 147)
Allah SWT menerangkan hanya yang datang dari Allah SWT saja yang diakui sebagai benar dan tidak salah. Baik ianya banyak atau sedikit, menang atau kalah, berkuasa atau tidak berkuasa, kaya atau miskin bukan ukuran perbedaan bagi benar dan salah, bahkan kebenaran itu dilihat sejauhmana beramal dengan kitab Allah SWT maupun sunnah Rasulullah SAW. Kedua-duanya datang dari Allah SWT.
Siapa yang menepati ajaran Allah dialah benar. Dialah yang sebenar-benarnya mendapat keberuntungan di sisi Allah SWT. Rasulullah SAW mengajarkan: “Al Qur’an itu menjadi hujjah kepada engkau (bahwa engkau benar) ataupun menjadi hujjah ke atas engkau (bahwa engkau salah). Setiap manusia iu berpagi-pagi maka dia akan menjual dirinya apakah dia beruntung ataupun dia rugi.” (H.R. Muslim)
Kita umat nabi Muhammad SAW mari bermuhasabah diri dan menilai kembali akan pendirian kita tentang benar dan salah karena neraca timbangan Allah itu telah tersedia. Mari menggunakannya. Kembali kepada kitab Allah dan hadits Rasul-Nya. Berhenti dari menggunakan akal pikiran semata-mata dalam menilai sesuatu baik ianya benar maupun ianya salah.
Bumi Indonesia milik Allah. Menumpang di bumi Allah, semestinya tahu diri. Menegakkan dan menjalankan hukum aturan-Nya. Bukan bikin sendiri.
>>Mutiara Volume 60<<
Diposting oleh
Sovia Bintang Aurora
Label:
Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Ikutan Komentar