Kamis, 28 Maret 2013

Jangan jadikan masa lalu sebagai alasan keterpurukanmu.

"Masa lalu yang suram." Begitu kata orang menilai saya.
Setiap orang yang bertemu dengan saya pasti mempergunjingkan saya. Saya tidak tahu apa yang seharusnya saya lakukan. Saya bingung. Saya mendatangi ustadz di masjid dekat rumah. Saya malah diceramahi, dibilang salah. Saya makin terpuruk. Semua karena masa lalu saya yang kelam.
Ustadz bilang, saya harus berubah dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan saya sendiri bingung, saya harus merubah yang mananya? Bagaimana caranya?
Saya takut Tuhan tak menerima taubat dari saya.
Pada akhirnya saya bertemu dengan seorang konselor muda. Dengan sabar, beliau mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut saya. Dia tidak menayakan masalah saya secara langsung, tapi entah mengapa saya ingin sekali bercerita panjang-lebar dengannya. Sosoknya begitu membuat saya percaya.
Konselor itu hanya berkata: "Setiap orang memiliki masa lalu, entah itu masa lalu yang buruk atau masa lalu yang baik. Jangan jadikan semua itu sebagai pembunuh cita-cita masa kecilmu. Berubahlah, sedikit demi sedikit. Ubahlah mind-setmu tentang masa depan atas kesalahanmu di masa lalu.  Kamu tahu apa yang terbaik untukmu."
Mendapat motivasi seperti itu, saya langsung tergerak untuk berubah. Mulai saat itu juga, saya berusaha menjadi seseorang yang "benar" menurut saya dan orang-orang di sekitar saya.
Terimakasih, Tuhan, terimakasih atas konselor muda yang kau kirimkan untuk menjadi temanku. . .

Senin, 25 Maret 2013

Motivasi 1

Di dunia ini tidak ada orang yang sempurna. Semua manusia tumbuh dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tuhan yang telah menciptakan setiap individu dengan seadil-adilnya. Lalu mengapa manusia lebih menyombongkan dirinya??
Sombong. Inilah sifat setan. Betapa tidak. Manusia yang menyombongkan dirinya telah menanggalkan semua akal sehatnya. Naudzubillahimindzalik. . . . .
Mari membunuh sifat sombong dalam pribadi kita.
:)

Pendekatan dalam Konseling - Pengantar Konseling


PEMBAHASAN

A.    Berbagai Pendekatan dalam Konseling
  1. Pendekatan Feminis
Asumsi dasar feminism adalah wanita, dalam banyak kultur besar, ditekan dan dieksploitasi secara sistematis. Howell (1981) menggambarkan hal ini sebagai “perendahan terhadap wanita”, dan orang lain menyebutnya seksisme. Para feminis telah mencoba mendekati masalah seksisme ini dari berbagai cara, cara aturan social yang mendominasi pria dibuat dan dipertahankan telah menjadi subjek analisis kritik. Bahasa untuk menggambarkan dan memahami wanita telah dibuat. Akhirnya, bentuk aksi social dan institusi social baru dengan tujuan pemberdayaan perempaun dibutuhkan.[1]
Teori dan praktik terapi feminis berawal dari gerakan feminisme pada tahun 1960-an, di mana para wanita membentuk sebuah forum untuk secara aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua.
Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah satu pendekatan dalam psikoterapi. Konseling dan psikoterapi feminis tidak dikembangkan oleh tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoretis tertentu, serta tidak dilengkapi dengan teknik tertentu (Enns, 2004; Evans et al., 2005). Konseling dan psikoterapi feminis fase awal ini didasari oleh pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman ditekan dan menjadi korban. Karena itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat membantu mereka.
Tahun 1980-an dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut pemikiran feminis (Dutton-Douglas & Walker, 1988). Gagasannya adalah menguji teori-teori konseling tradisional dalam perspektif feminisme, dan kemudian menghilangkan bagian-bagian pendekatan tradisional yang memandang pria dan wanita secara dikotomis (patriarkal) (Elliott, 1999). Beberapa praktisi konseling feminis awal mengajukan androgini, yaitu integrasi antara karakteristik maskulin dan feminin tradisional, sebagai kondisi kesehatan mental ideal yang menjadi tujuan konseling (Enns, 2004). Konselor dan terapis feminis didorong untuk memilih metode-metode, yang terdapat dalam pendekatan-pendekatan tradisional, yang tidak berpotensi bias gender (Enns, 1993).[2]
Sejak akhir tahun 1980-an, terjadi pergerakan dalam teori feminis yang memperkenalkan potensi feminin, fokus pada kesetaraan, dan mengajukan asumsi bahwa sebagian besar masalah wanita diciptakan oleh masyarakat yang tidak menghargai atau membebaskan para wanita untuk melakukan kehendaknya.
Dalam pendekatan feminisme terdapat berbagai aliran pemikiran. Enss (1992) telah membagi perspektif “yang kompleks, tumpang tindih, dan mengambang” yang beroperasi dalam feminism ke dalam empat tradisi feminism: liberal, cultural, radikal, dan sosialis. Feminism liberal dapat dikatakan sebagai aliran utama feminism, dan memiliki akar dalam perjuangan Suffragetts dalam mendapatkan kesetaraan hak dan akses. Sebaliknya, feminism cultural, sangat menekankan pada penyadaran dan perayaan pengalaman menjadi wanita yang khas mempromosikan feminisasi masyarakat melalui legitimasi pentingnya nilai pernyataan hidup (life-affirming) seperti kooperasi, harmoni, penerimaan terhadap intuisi, dan pengorbanan diri. Feminism radikal berpusat pada tantangan sistematik terhadap struktur dan keyakinan yang dikaitkan kepada kekuatan pria atau patriarki, dan membagi kehidupan social ke dalam domain pria dan wanita. Akhirnya, feminism social bersumber dari kepercayaan inti yang menyatakan bahwa terlepas dari tekanan yang dipengaruhi oleh gender, pada level yang lebih fundamental aliran ini ditentukan oleh kelas social dan ras. Bagi para feminis socialis, pemenuhan kebutuhan manusia hanya dapat terjadi ketika berbagai isu berkenaan dengan pengaturan produksi dan moral, dan system kelas telah diterima dengan baik. Kelompok-kelompok dalam pergerakan feminis ini telah mengembangkan target, metode, dan solusi serta memiliki kecenderungan untuk melibatkan diri mereka kepada berbagai masalah yang berbeda.
Adalah hal yang penting untuk menyatakan bahwa feminism adalah system berpikir dan aksi social yang komplek dan berkembang. Di samping itu, adalah memungkinkan mengidentifikasi rangkaian keyakinan yang luas dari mayoritas konselor beraliran feminism. Dalam hal ini, Llewelyn dan Osborne (1983) berpendapat bahwa terapi keluarga dibangun di atas empat asumsi dasar tentang pengalaman social wanita:
1.      Wanita secara konsisten berada dalam posisi berbeda dengan pria. Misalnya, wanita cenderung memiliki kekuasaan dan status yang lebih lemah dalam pekerjaan. J. B. Miller (1987) mengobervasikan bahwa wanita yang berusaha menjadi berkuasa ketimbang pasif dipandang sebagai egois, destruktif, dan tidak feminine.
2.      Wanita diharapkan untuk sensitif dengan perasaan orang lain, dan memberikan layanan emosional, terutama terhadap pria.
3.      Wanita diharapkan untuk “terhubung” dengan pria, dengan demikian maka mendapatkan otonomi adalah hal yang sulit.
4.      Masalah seksualitas manjadi sangat sulit bagi wanita. Factor ini bersumber dari konteks social di mana imaji tubuh wanita yang ideal digunakan untuk menjual komoditas, kepercayaan diri seksualitas wanita merupakan ancaman banyak pria dan kekerasan seksual terhadap wanita menyebar dengan luas.
Konsep feminism tentang hubungan diri lebih banyak berupa perasaan saling terhubung antar-person. Hubungan ini dipertahankan melalui kemampuan untuk merespons oran lain secara empatik.


  1. Pendekatan Narasi
Psikolog Jerome Bruner (1990) berpendapat bahwa terdapat dua cara untuk mengetahui dunia. Ada yang disebutnya pengetahuan paradigmatic (paradigmatic) yang melibatkan penciptaan model abstrak dari relaitas. Kemudian ada yang disebutnya pengetahaun narasi (narrative). Yang didasarkan kepada pemahaman terhadap dunia melalui bercerita. Bruner berpendapat bahwa kehidupan sehari-hari kita penuh dengan cerita. Kita bercerita kepada diri dan orang lain sepanjang waktu. Kita menstruktur, menyimpan, dan mengomunikasikan pengalaman kita melalui cerita.
Narasi adalah sebuah istilah yang lebih inklusif yang digunakan untuk menggambarkan proses besar pembuatan laporan berkenaan apa yang telah terjadi. Sebuah narasi, dapat diartikan terdiri dari beberapa cerita yang terpisah dan berbeda satu dengan yang lain, dan sangat mungkin mencakup komentar atas cerita-cerita tersebut dipandang sebagai narasi miliknya, yang mungkin terdiri dari tiga atau empat cerita yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lain.
Kelompok Luborsky telah mengobservasi bahwa walaupun pada saat terapi klien menceritakan hubungannya dengan banyak orang yang berbeda (misalnya, partner, anggota keluarga, teman, dan terapis), tetap untuk mendeteksi tema dan konflik yang konsisten sepanjang, atau sebagian, besar, cerita yang dihasilkan oleh seseorang. Luborsky menyebutnya CCRT (the core conflictual relathionship theme). Lebih jauh lagi Luborsky berpendapat bahwa cerita-cerita tersebut adalah terstruktur.

  1. Pendekatan Multikulturalisme
Pendekatan multicultural berawal dari posisi yang menyatakan bahwa keanggotaan dari kultur atau beberapa kultur merupakan salah satu pengaruh paling penting terhadap perkembangan identitas seseorang, dan Karena itu masalah emosional dan perilaku yang dibawa oleh seseorang ke ruang konseling bisa jadi merupakan cerminan bagaimana hubungan, moral, dan pemahaman terhadap hidup “hidup yang nyaman” dipahami dan didefinisikan dalam kultur (atau beberapa kultur) tempat dimana seseorang hidup . Pedersen (1991) berpendapat bahwa multikultutalisme seharusnya dianggap sebagai “kekuatan keempat” dalam konseling, melengkapi behaviorisme, psikoanalisis, dan psikologi humanistik.
Penting bagi kita memahami kata kultur, kultur dipahami sebagai “cara hidup kelompok seseorang”. Clifford Geertz, antropologi ternama saat ini, kultur dapat dipahami sebagai:

“pola makna yang tertanam dalam symbol dan ditransmisikan secara historis, sebuah system konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik yang digunakan (orang-orang) untuk berkomunikasi, bertahan hidup, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadapnya.”

Inti dari konselor multicultural adalah sensitivitas terhadap berbagai cara yang memungkinkan berbagai fungsi kultur dan interaksi, terleburkan menjadi kepedulian tentang pengalaman cultural orang lain.[3]


  1. Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan psikodinamik dalam konseling mempresentasikan tradisi utama dalam konseling dan psikoterapi  kontemporer. Konseling psikodinamik memberikan perhatian besar terhadap kemampun konselor untuk menggunakan apa yang telah terjadi dalam hubungan antara klien dan konselor yang bersifat segera serta terbuka, untuk mengeksplorasi tipe perasaan dan dilema hubungan  yang mengakibatkan kesulitan bagi klien dalam kehidupannya sehari-hari.
Tujuan konseling psikodinamik adalah mambantu klien mencapai kesadaran dan pemahaman terhadap di balik masalahnya, dan kemudian menerjemahkan kesadaran ini ke dalam kemampuan yang matang dalam menghadapi berbagai masalah di masa mendatang. Agar proses ini dapat berjalan, konselor diisyaratkan mempu menawarkan kepada klien lingkungan yang cukup aman dan konsisten agar klien bisa mengekspresikan fantasi dan dorongan yang menyakitkan atau memalukan secara aman.
Konseling psikodinamik singkat (brief psychodynamic counselling)  merupakan salah satu bentuk pendekatan yang relatif baru  dalam dunia konseling. Konseling psikodinamik singkat mendasarkan pada teori psikoanalisa. Salah satu masalah utama yang terkait dengan praktek  psikoanalisis  adalah  masalah panjangnya waktu intervensi  (rata-rata  855 sessi)  sehingga  dipandang kurang efisien.  Masalah  panjangnya waktu  intervensi terkait dengan mahalnya biaya dan waktu  yang harus dikeluarkan klien. Menanggapi masalah efisiensi,  muncullah Konseling  sessi tunggal atau dikenal pula  dengan “Konseling Singkat”.  Kedua hal ini (psikoanalisis dan  konseling  singkat) memiliki dasar  asumsi masing-masing. [4]
Psikoanalisis  didasarkan pada  suatu teori yang sangat besar dan kompleks tentang tingkah laku  manusia yang mensyaratkan kepribadian harus  dibongkar  dan direkonstruksi sampai suatu perubahan yang besar/bermakna terwujud. Konseling Psikodinamik Singkat mendasarkan  pada aspek  pragmatis,  frame work kesehatan masyarakat (yang  menuntut perubahan  minimal yaitu pada suatu tingkah laku bermasalah  yang spesifik. Salah satu dasar pemikirannya adalah mewujudkan  efisiensi. 
Psikodinamika dengan jelas menekankan pada interpretasi tingkah laku sebagai hasil dari  interplay dari motif-motif, dorongan-dorongan, kebutuhan-kebutuhan dan konflik-konflik (Pervin, 1984 : 62). Secara umum konseling psikodinamik singkat memiliki karakteristik sebagai berikut: a) menekankan pada keterbatasan waktu, b) memfokuskan pada problem-problem spesifik yang dapat  diintegrasikan secara baik, c) konselor aktif, fleksibel, dan menjaga kesadaran penuh  terhadap waktu, d) klien secara aktif terlibat dalam treatmen baik  dalam  sessi konseling, maupun di luar suasana konseling untuk mencoba mempraktekkan tingkah laku-tingkah laku baru yang dipelajari dalam konseling, e) klien harus memiliki kekuatan-kekuatan dan kualitas penyesuaian yang baik seperti memiliki motivasi yang tinggi untuk berubah, memiliki  hubungan sosial yang baik, f) konselor harus memiliki keterampilan yang luar biasa, g) klien dan konselor secara aktif terlibat dalam pemecahan  suatu problem psikologis secara tepat, h) tujuan  tidak berusaha untuk merekonstruksi kepribadian atau juga tidak untuk menyembuhkan sakit mental.
Pada kenyataannya tidak semua klien menolak konseling singkat (brief counselling).
Di sisi lain, banyak pula klien yang lebih menyukai  orientasi  konseling seperti psikoanalisa. Untuk mengatasi kendala waktu, usaha,  dan biaya  pada  prosedur psikoanalisa, maka muncullah  konseling psikodinamika singkat.  Menurut Culley, S.. and James W., (1997 : 252) konseling psikodinamika singkat merupakan salah satu dari tiga klasifikasi utama  pendekatan  brief psychoterapy yaitu psikodinamika, kognitif-behavior, dan  tactical.
Konseling  ini (konseling psikodinamika singkat) memiliki ciri-ciri yang sama dengan  konseling  singkat yang  lain (khususnya sama-sama menekankan pada  efisiensi  waktu dan  memfokuskan  pada masalah).
Meskipun demikian,  konseling  ini bertujuan untuk menghasilkan pencapaian perubahan yang lebih jauh bagi masalah-masalah klien yang kompleks. Konseling ini mendasarkan pada teori psikoanalisis, bertujuan  untuk mewujudkan  perubahan-perubahan  seperti  halnya perubahan  yang dihasilkan pada psokoanalisis panjang (long-term  psychoanalisys) melalui penggunaan teknik psikoanalitik.

  1. Pendekatan Kognitif Behavioral
Pendekatan Kognitif Behavioral bersumber dari psikologi behavioral (perilaku) dan memiliki tiga karakteristik: pemecahan masalah (problem solving), pendekatan perubahan terfokus (change focused approach) untuk menghadapi klien; penghormatan pada klien; penghoramatan kepada nilai ilmiah; dan memiliki perhatian yang lebih terhadap proses kognitif- alat untuk mengontrol dan memonitor tingkah laku mereka.[5]
Metode perilaku (behaviour modification) adalah sebuah teknik yang berangkat dari konsepsi Skinnerian bahwa dalam setiap situasi atau dalam merespons setiap stimulus, seseorang sudah memiliki perbendaharaaan respons yang mungkin sesuai dengan stimulus tersebut, dan mengeluarkan perilaku yang dikuatkan atau diberi ganjaran. Prinsip ini dikenal dengan istilah operant conditioning (pengkondisian operan). Ketika seseorang ditanya misalnya, akan ada banyak kemungkinan cara untuk merespons. Ia (orang tersebut) dapat menjawab pertanyaan tersebut, mengacuhkannya, atau lari. Skinner (1953) berpendapat bahwa respons yang akan dikeluarkan adalah yang paling sering dikuatkan dimasa lalu. Maka dalam kasus ini, sebagian orang akan menjawab pertanyaan tersebut, karena di masa lalu perilaku orang tersebut akan merefleksikan sejarah penguatan perilakunya. Dia akan diam. Diaplikasikan kepada individu dengan perilaku bermasalah, ide ini menyatakan bahwa adalah sesuatu yang berguna untuk memberikan hadiah atau menguatkan perilaku yang diharapkan, dan mengacuhkan perilaku yang diharapkan. Jika sebuah perilaku tidak segera diberikan penguat, maka akan berlangsung proses penghapusan, dan secara perlahan akan menguras perbendaharaan yang ada.
   Istilah kognitif merujuk kepada aktiviti-aktiviti mental seperti berfikir, menganalisis, membentuk konsep, menyelesaikan masalah dan sebagainya. Pendekatan Kognitif merupakan pendekatan yang memberi perhatian khusus kepada proses pemikiran individu seperti kemahiran berfikir secara kritis dan kreatif, kemahiran belajar dan motivasi yang dipelopori oleh ahli psikologi Gestalt, Pieget, Vygotsky, Gagne, Bruner dan Ausubel.[6]
Teori-teori kognitif didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Dengan kemampuan kognitif ini maka anak dipandang sebagai individu yang secara aktif membangun sendiri pengetahuan mereka tentang dunia.
Perkembangan kognitif merupakan salah satu perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengetahuan, yakni semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individeu mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
Menurut Drever (Kuper & Kuper, 2000) disebutkan bahwa ” kognisi adalah istilah umumyang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penialain, dan penalaran”.
Sedangkan menurut Piaget (Hetherington & Parke, 1975) menyebutkan bahwa “kognitif adalah bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian di sekitarnya”. Pieget memandang bahwa anak memainkan peran aktif di dalam menyusunpengetahuannya mengenai realitas, anak tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya walaupun proses berpikir dan konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalamannya dengan dunia sekitar dia, namun anak juga aktif menginterpretasikan informasi yang ia peroleh dari pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi.
Menurut Chaplin (2002) dikatakan bahwa “kognisi adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk mengenal, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai.
Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses mental atau pikiran. Proses ini meliputi bagaimana informasi diperoleh, dipresentasikan dan ditransfermasikan sebagai pengetahuan. Pengetahuan itu dimunculkan kembali sebagai petunjuk dalam sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu, psikologi kognitif juga disebut psikologi pemrosesan informasi.
Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental, dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang.
Psikologi kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan pendekatan kognitif untuk memahami perilaku manusia. Psikologi kognitif mempelajari tentang cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari, menalar, mengingat dan berpikir tentang suatu informasi.
Dari berbagai pengertian yang telah disebutkan di atas dapat dipahami bahwa kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menlai, dan memikirkan lingkungannya.
Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan berjangka waktu singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya asietas atau depresi. (Singgih D. Gunarsa, 2003: 227)

Aspek-aspek Kognitif
1. Kematangan, yaitu Semakin bertambahnya usia, maka semakin matang atau bijaksana seseorang dalam menghadapi rutinitas dan masalah yang dihadapinya.
2. Pengalaman merupakan hasil interaksi antar individu dengan orang lain.
3. Transmisi sosial adalah hubungan sosial dan komunikasi yang sesuai dengan lingkungan.
4. Equilibrasi adalah perpaduan dari pengalaman dan proses transmisi sosial.

  1. Pendekatan Person-Centred

Konseling yang berpusat pada klien (clint cntered) sering pula disebut konseling teori diri (self theory).
Pendekatan konseling “client centered” atau yang berpusat kepada klien menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang enting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Yang paling penting dalam kualitas hubungan konseling adalah pembentukan suasana hangat, permisif, dan penerimaan yang dapat membuat klien untuk menjelajahi struktur dirinya dalam hubungan dengan pengalaman yang unik. Individu dapat diperlukan.
Konsep pokok yang mendasari konseling berpusat pada klien adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakikat kecemasan.
Menurut Rogers, konstruk inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Dikatakan bahwa konsep diri atau struktur diri dapat dipandang sebagai konfigurasi persepsi yang terorganisasikan tentang diri yang membawa kesadaran. Hal itu terdiri dari unsure-unsur persepsi terhadap karakteristik dan kecakapan seseorang, pengamatan dan konsep diri. [7]
            Menghadapi karakteristiknya yang tidak dapat diterima tanpa perasaan terancam. Individu bergerak menuju penerimaan diri dari nilai-nilainya, dan dapat mengubah aspek-aspek dirinya yang dipilihnya sebagai modifikasi yang diperPendekatan diasosiasikan kepada Rogers, yang disebutkan dalam banyak kesempatan dengan “non- directive” (tidak langsung), “clien centered” (berpusat pada klien), “person –centred” ( berpusat pada person) atau Rogerian, bukan saja merupakan salah satu aliran konseling dan terapi yang digunakan secara luas selama 50 tahun, tetapi juga memberikan ide dan metode yang kemudian iintegrasikan dengan pendekaran lain (Thorne, 1992). Kemunculan terapi clint-centered pada 1950 merupakan bagian dari pergerakan psikologi Amerika untuk menciptakan alternative terhadapa dua teori yang mendominasi pada waktu.


[1] Muhammad Surya, Teori-teori dalam Konseling, (CV. Pustaka Bani Quraisy; Bandung) 2003, 20
[2] E. Koeswara, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (PT. ERESCO; Jakarta), 1988
[3]Syamsu Yusuf, A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), h. 114
[4] Ibid,.
[5]Borg, W.R. and Gall, M.D. Education Research. (Longman Inc. 95 Street, White
Plains. Th. 2003)
[6] Ibid,.
[7]Rosjidan, 2004. Hand Out Ketrampilan Komunikasi Konseling. Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Malang

Konsep Konseling - Pengantar Konseling


PEMBAHASAN
1.      Definisi konseling
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerimai” atau “ memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti menyerahkan atau menyampaikan.[1] Ada pula yang mengatakan istilah konseling merupakan terjemahan dari kata counseling. Menurut arti katanya, counseling, yang berasal dari kata counsel mempunyai arti nasihat, anjuran, pembicaraan.[2] Dalam buku Ketut Sukardi, juga disebutkan bahwa konseling adalah terjemahan dari “counseling” yang merupakan bagian dari bimbingan, baik layanan bimbingan secara keseluruhan (counseling is the heart of guidance). Selain itu, , pengertian konseling juga didefinisikan secara beragam oleh para ahli. Menurut Jones (1963) pengertian konseling adalah sebagai berikut:
Ø  counseling is taking over a problem with some one. Usually but not always, one of two has facts or experiences or abalities not possessed to the same degree by the other. The process of counseling involves a clearing up of the problem by discussion.”(Jones,1963:291)[3]
            Sedangkan shertzen dan stone (1981) mengemukakan pengertian konseling sebagai berikut:
Ø  “counseling is an interaction process that facilitates meaningful understanding of self and environment and results in the establishment and/or clarification of goals ang values for future behavior”
            Tokoh lain, yaitu Wrenn (1951) memberikan definisi konseling sebagai berikut:
Ø  “counseling is personal and dynamic relationship between two people who approach a mutually defined problem with mutual consideration for each other to the end that the younger, or less mature, or more troubled of the two is aided to a self determined resolution of his problem” (Wrenn, 1951: 60)
Ø  Kata “konseling” mencangkup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja brsifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah…tugas konseling adalah memberikan kesempatan kepada “klien” untuk mengeksplorasi, menemukan, dan menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu.(BAC, 1984)
Ø  Konseling mengindikasikan hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu-individu, walaupun terkadang melibatkan lebih  dari satu orang. Konseling didesain untuk menolong klien untuk memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self-determination)  mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka, dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal. (Burks dan Stefflrre, 1979:14)[4]
Ø  Dalam buku bimbingan dan konseling juga di sebutkan, bahwa : konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi  yang bersifat pribadi antar konselor dan konseli (klien) agar mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli (klien) merasa bahagia dan efektif prilakunya.
Ø  ASCA (American School Counseling Association) mengemukakan bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien. Konselor mempergunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk membantu klien untuk mengatasi masalah-masalahnya.[5]
Adanya perbedaan definisi konseling tersebut, selain ditimbulkan karena perkembangan ilmu konseling itu sendiri, juga disebabkan oleh perbedaan pandangan ahli yang merumuskan tentang konseling dan aliran atau teori yang dianutnya.[6]


2.      Hubungan konseling dan psikoterapi
Konseling  disajikan  dengan berbagai macam label. Sebagaimana metafora dunia bisnis, ada banyak produk yang saling bersaing dan menawarkan jasa yang sama atau lebih kepada para klien. Versi mahal produk ini dijual dengan label “psikoterapi” yang dilaksanakan oleh praktisi yang biasanya, spesialis profesional yang sangat terlatih dan sering kali berlatar belakang pendidikan kedokteran. Psikoterapi dapat menjadi sebuah proses yang panjang. Terlepas dari meningkatnya minat terhadap psikoterapi “ringkas” yang terdiri dari sepuluh hingga dua belas sesi, cukup fair untuk menyatakan bahwa sebagian besar psikoterapis mempertimbangkan perlunya klien berada dalam perawatan selama setahun atau lebih untuk mendapatkan hasil yang menggembirakan. Versi psikoterapi paling mahal dan ekslusif masih dipegang oleh psikoanalisis Freudian Klasik.[7]
Beberapa orang mengklaim dapat membuat perbedaan yang jelas antara konseling dan psikoterapi. Psikoterapi mempresentasikan versi lebih dalam, lebih mendasar, atau melibatkan proses perubahan terhadap pasien yang lebih “sakit”. Sedangkan sebagian yang lain menyatakan bahwa pada dasarnya, konseling dan psikoterapi melakukan tugas yang sama, menggunakan pendekatan dan teknik yang identik satu dengan yang lain, tetapi harus menggunakan judul yang berbeda sebagai respons dari tuntutan agensi yang memperkerjakannya. Misalnya, secara tradisional psikoterapi adalah istilah yang digunakan dalam setting medis, seperti unit psikiatri, dan konseling adalah label yang digunakan dalam setting pendidikan seperti pusat bimbingan dan penyuluhan siswa. Sebuah perbedaan yang sangat antara konseling dan psikoterapi adalah sebagian konseling dilakukan oleh pekerja sukarela atau nonprofesional, sedangkan psikoterapi adalah sebuah profesi profesional yang eksklusif.

3.      Tujuan konseling:
a.       Mengadakan perubahan perilaku pada diri klien sehingga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan.
b.      Memelihara dan mencapai kesehatan mental yang positif.
c.       Penyelesaian masalah.
d.      Mencapai keefektifan pribadi.
e.       Mendorong individu mampu mengambil keputusan yang penting bagi dirinya.[8]


4.      Konseling sebagai bidang studi interdisiplioner
Meski pada awalnya konseling dan psikoterapi bersumber dari disiplin ilmu psikiatri, seiring dengan waktu kedua bidang tersebut telah dianggap sebagai salah satu subcabang dari disiplin akademik psikologi. Di beberapa negara Eropa, ijazah psikologi merupakan syarat untuk memasuki pelatihan dalam bidang psikoterapi. Di Amerika Serikat, sebagaimana yang semakin luas digunakan di Inggris, terminologi psikologi konseling semakin sering digunakan.. buku teks psikologi memberikan paparan yang substansial terhadap karya para psikoterapis seperti Freud, Rogers dan Wolfe. Konseling dan Psikoterapi kini menyandang status sains terapan setelah dimasukkan dalam bidang psikiatri dan psikologi.[9] Walaupun demikian, terlepas dari nilai perspektif psikologi dan praktek konseling, adalah esensial untuk menyatakan bahwa ada beberapa bidang akademik yang juga terlibat secara aktif.
            Beberapa ide penting dalam konseling dan psikoterapi bersumber dari filsafat. Konsep”bawah sadar” (unconscious) telah digunakan oleh filsuf abad 19 (Ellennerger, 1970), jauh sebelum kata tersebut digunakan oleh Freud dalam teorinya. Konsep fenomenologi  dan autentisitas telah dikembangkan oleh para filsuf eksistensial seperti Heidegger dan Husserl jauh sebelum konsep tersebut memengaruhi Rogers, Pearl, dan terapis humanis  lainnya. Bidang filsafat moral juga memberikan input kepada konseling dengan menawarkan  kerangka kelogisan isu etis (lihat Bab 15)
Area studi lain, yang berpengaruh kuat dalam reori konseling  adalah agama. Beberapa agen konseling memulai hidup mereka sebagai sebuah cabang dari gereja atau dimunculkan oleh para pendiri karena panggilan regilius. Banyak figur kunci dalam konseling dan psikoterapi memiliki latar belakang agama yang kuat, dan telah mencoba untuk menggabungkan profesi  konselor dengan pencarian makna spiritual. Jung  memberikan kontribusi  yang signifikan dalam bidang ini.
Bidang aktivitas intrlrktual ketiga yang terus-menerus memengaruhi konseling adalah seni. Ada tradisi kuat dalam konseling dan psikoterapi yang menggunakan  metode dan tehnik seperti drama, pahatan, dan seni visual yang memungkinkan klien mengekspresikan perasaan dan pola hubungan mereka. Dalam tahun-tahun belakangan ini, psikodrama dan terapi seni telah menjadi pendekatan konseling khusus, dengan model teori, pelatihan, dan jurnal tersendiri.
Konseling merupakan bidang praktek yang tidak biasa karena ia mencakup sekumpulan perspektif teori yang saling bertolak belakang satu dengan yang lain, cakupan aplikasi praktis, dan input berharga yang didapat dari kontribusi beberapa disiplin keilmuan. Trone dan Dryden(1993) telah mengedit koleksi biografi yang ditulis oleh para konselor dengan cara yang biasa mereka pergunakan dalam pelatihan ekologi, teologi dan antropologi untuk mendukung praktek konseling mereka. Dengan demikian, area konseling dan psikoterapi mempresentasikan sintesa dari sains, filsafat, agama, dan seni. Konseling merupakan area interdisiplin yang tidak dapat secara tepat dimasukkan dalam salah satu disiplin keilmuan yang merupakan elemen pembentuknya. Pendekatan konseling yang misalnya, murni sains atau murni agama lambat laun akan dilihat sebagai sesuatu yang bukan konseling, karena hal tersebut menolak daerah kunci pengalaman klien dan praktisi.


[1] Prayitno, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta), 2008, hal 99

[2] Retno Tri Hariastuti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Surabaya: UNESA press), 2008, hal 4
[3] Ibid, hal 5
[4] John McLeod, Pengantar Konseling, (Jakarta: Open University Press), 2006, hal 5-7
[5] Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT. Refika Aditama), 2006, hal 10
[6] Ibid, hal 11
[7]John McLeod, Pengantar Konseling, (Jakarta: Open University Press), 2006, hal 8
[8] Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT. Refika Aditama), 2006, hal 12
[9] John McLeod, Pengantar Konseling, (Jakarta: Pernada Media), 2010, hal 14